Entri Populer

Selasa, 20 Desember 2011

Sepenggal duka diantara senyum mereka


    Mereka ia lah manusia super yang tak memiliki kekuatan super secara fisik melainkan dari hati mereka, ialah Tukang komedi putar keliling. hanya bermodal kayu kokoh dengan beratap terpal dengan alas bumi itulah tempat mereka tidur, makan, dan mencari uang. Mungkin bagi kita mereka itu hanya manusia yang tidak beruntung , tapi mereka tidak pernah mengangap seperti itu walau susah sering menghampiri, tapi mereka tetap ingat pada siapa mereka harus bersyukur dengan rizki yang seadannya
    Lokasi , itulah pertama yang harus mereka pilih, dengan bermodalkan uang sewa pas-pasan mereaka mencari lokasi yang lapang dan ramai akan anak-anak. Tak semua orang memberikan izin kepada mereka untuk lahannya di pergunakan mencari penghasilan, terkadang mereka di usir dengan paksa dan terkadang mereka di sambut dengan tawa. Itulah kehidupan tak selamanya berpihak. Dapatnya lokasi bukan berarti selesailah perjuangan mereka karna disini, di mulailah perjuangan mereka, dengan gerobak lusuh mereka membawa semua peralatan komedi putar, mulai dari tempat duduk, terpal, kayu penyangga hingga sound sistem untuk menghibur selaan putaran komedi. Seberapa pun jarak yang mereka tempuh, tak pernah mereka mengeluh. Setelah sampai mereka tak bergegas beristirahat melaikan mereka bergegas membangun komedi putar itu.
    Di sambutlah mereka dengan kerubunan anak kecil yang memperhatikan mereka dari membangun tenda hingga merapikan segala. Dengan kerja keras dan luka pada kulit yang sering memar karna tertimpa bahan keras  mereka mulai mencari anak-anak untuk menjadi pelanggan pertama mereka
    Lima ratus rupiah, itulah harga tarif mereka sekali tariknya ,mungkin tak sebanding dengan pengorbanan yang mereka lakukan ,tapi merka juga tidak berani menaikan tarif tersebut karna di khawatirkan pelanggan berkurang dan komedi putar pun menjadi sepi. Senyum canda tawa anak kecil tanpa dosa menghilangkan sedikit penak dalam pekat. Azan mulai berkumandang, berhentilah mereka sejenak, pergilah mereka menunaikan kewajiban mereka sebagai hamba yang berbakti kepada tuhannya. Siang telah menghampiri lapar pun menyusut mereka, dengan bergegas mereka membeli makanan seadannya , di situlah mereka melahab makanan seadanya, tak ada tempat sepesial bagi mereka untuk melahab makanan, tak merka hiraukan kotor karna lapar telah menjalar. Beristirahatlah mereka sejenak sekadar mempererat hubungan keluarga mereka.
    Tak disangka hujan pun datang tiba-tiba, anak-anak pun bergegas kembali menuju rumah mereka, bergegaslah mereka merapikan dinding-dinding kursi tempat anak-anak bersanggar menikmati putaran sejuk, dengan dinding tersebut dan atap terpal disitula mereka menghindari hujan badai, dingin sering merka rasakan apa lagi si bungsu yang berumur 2 tahun menggigil tak berdaya, secepatnya mereka memberikan pengahangatan seadanya, lama hujan tak reda pengasilan merekapun berkurang dan seluruh tubuh mereka basah akan hujan mereka tak menghiraukan tersebut, yang merka fikirkan hanyalah bagaimana mereka bisa membayar uang sewaan dan makan besok dengan koin lima ratus rupiah tersebutlah mereka dapat memenuhi semua itu.
    Malam pun datang, kesibukan melanda dalam ruang sempit, mereka saling bergantian melakakukan hal pribadi menumpang di kamar mandi warga setempat yang memberikan izin kepada mereka untuk sekedar membersihkan diri dari tetesan hujan. terjadilah kegiatan yang sangat mengandung unsur kekeluargaan mereka hari ini hanya dapat memakan nasi bungkus untuk semua karna uang yang di dapat hanya cukup untuk mebeli sebungkus nasi, walau difikir itu kurang tapi mereka mensyukuri semua itu.
    Malam terasa sunyi di dalam dingin yang membelenggu ,tapi anak bungsu mereka yang masih berusia 2 tahun menangis ke dinginan dan merasa dirinya tidak enak badan karena seluruh tubuhnya panas dan menggil dengan bergegas orang tua laki-laki dari si anak bungsu berlari ke rumah warga setempat untuk meminta izin agar anak itu tinggal di dalam rumah yang nyaman sejenak, tapi sang pemilik rumah tak mengizinkan mereka , malah mereka di hina dan di joroki hingga tersungkur ke tanah " Dasar orang miskin, mau tidur enak ya bikin rumah doong, cuiiihhhh !!", dengan sabar mereka mencari singgahan yang lebih nyaman akhirnya mereka bersinggah di sebuah musollah di dekat daerah mereka mencari kepingan uang lima ratus rupiah. Untung saja ketua RT di sana perihatin dan memberikan selimut dan makanan serta obat untuk si kecil yang menggigil tersebut, dan akhirnya mereka tertidur dengan nyenyak di musollah itu.
    Malam telah menjadi pagi, ini bukan waktunya untuk bermalas-malas bergegaslah mereka menyerukan lagu dari sound system yang tua tersebut untuk memanggil anak-anak, semua berjalan dengan indah dengan mudah kepingan rupiah tekumpul dengan sejajar. Tapi salah satu penumpang komedi tersebut tersungkur ke tanah hingga membuat ke dua gigi depannya patah, sejenak ia semua berhenti dan ia pun pulang ke rumahnya dengan tangisan. Tak lama kemudian datanglah orang tua si anak tersebut marah-marah dengan bringasnny mengahancurkan sebagian kecil komedi putar tersebut dan mengancam akan mengahancur kan semuanya dikalau mereka tak pergi dari sini. Akhirnya mereka memperbaiki kerusakan dan pergi dengan rasa perih di dada.


catatan :
    Mohon maaf jika ada persamaan tokoh, tempat dan kejadian, karena ini hanya pandangan fiktif semata penulis

Sabtu, 06 Agustus 2011

Menangisi sebuah tangisan

Rindu malam menyambut sang nestapa
Sungguh ingin ku akhiri ini semua
Dimana burung tak berkicau
Dimana daun tak bergugur
Dan saat dimana ,
Luka menyapa perih.
Saat semua mahkluk berkata,

 Lautan : "Wahai anak manusia mengapa engkau menyerah begitu saja ?"
Nestapa : "Wahai Lautan , sungguh aku tak tahan atas semua beban penderitaanku ."
Lautan : "Apa kau tak berfikir, seberapa kejinya kah aku dengan manusia yang telah menggemparkan seisi ku ?"
Nestapa : "Benarkah !"
Lautan : "Benar anak manusia, tapi apa yang ku perbuat , ku tak murka , ku tak mau mebalas , karna mungkin ini tujuan ku di buat untuk       berada di bumi "
Nestapa : "Hhmmm,,nyatanya seperti itu "

Awan pun menyambut !

 Awan : "Wahai anak manusia, mengapa engkau murung ?"
Nestapa : "Wahai awan, sungguh aku tak tahan atas semua beban penderitaanku ."
Awan : "Apakah kau pernah berfikir , tentang seberapa berat aku menahan beban hujan ?"
Nestapa : "Benarkah ?"
Awan : "Tentu benar, dikalau aku tak kuat menahan beban yang menyerta, ku yakin bumi kan lenyap oleh air ."
Nestapa : "Hhmmmm, Nyatanya seperti itu !"
Kemudian Gunung menyapanya !
 Gunung : "Wahai anak manusia, ada apa gerangan ?"
Nestapa : "Wahai gunung , sungguh aku tak tahan atas semua beban penderitaan ku ."
Gunung : "Seperti itu kah ?"
Nestapa : "Iya benar"
Gunung : "Kau manusia yang lemah, sungguh ku kecewa atas perbuatan mu sang kholifah "
Nestapa : "Mengapa ?"
Gunung : "Pernah kah kau membayangkan , seberapa panasnya tubuhku saat lahar telah mengamuk ?"
Nestapa : "Yakinkah kau ?"
Gunung : "Yak aku yakin, jika ku tak kuat atas panasnya lahar mungkin penduduk di sekitarku kan terbanjiri oleh panasnya lahar. "
Nestapa : "Hhmmm, nyatanya seperti itu !"

Menyertaklah Sang Alam !

 Alam : "Wahai sang Nestapa, Mengapa engkau selalu mengeluh ?"
Nestapa : "Wahai alam, sungguh aku tak tahan atas semua penderitaanku."
Alam : "Memang apa yang kau derita ?"
Nestapa : "Aku menderita dendam yang tak usai, kecewa yang mendalam dan rintihan tangisan yang memerah, tak ada manusia yang dapat             ku percaya , karena semua manusia telah mendendamku dan menghianatiku."
Alam : "Memang kenapa mereka semua mendendammu ?"
Nestap : "Karena keluarga ku selalu berdusta hingga anak keturunan keluargaku selalu di buat jengkel oleh mereka."
Alam : "Mengapa engkau tak sabar sebagaimana lautan mengajarimu kesabaran, bahkan ia berkata ''mungkin ia dibuat di dunia ini , memang untuk seperti ini'', dan awan mengajarkan kamu ketegaran , dikalu ia tak tegar mungkin dibumi ini tak ada kehidupan , dan      engkau mengapa tak mendengarkan ucapan gunung yang tetap menjaga walau ia terluka , percayalah wahai anak manusia , tuhan   pasti           punya jalan sendiri mengapa engkau hidup seperti ini."
Nestapa : "Hhmmmm, benar juga ucapan mu alam , jadi aku harus bagaimana ?"
Alam : "Gunakan sifat lautan yang selalu sabar, gunakan sifat awan yang selalu tegar, dan gunakan lah sifat pengorbanan gunung."
Nestapa : "Baiklah."


Sungguh Sabar sangat berguna untuk kehidupan
Sungguh tegar sangat berguna untuk kehidupan
Sungguh pengorbanan sangat berguna untuk kehidupan
Dan sungguh hidup butuh Bijaksana

Seruan alam

Semua telah berterbang
Kini teduhan telah menghilang
Kini sejukan telah mati
Kini singgahan telah sirna

 Berteriak lah kau alam
Menyertaklah kau alam
Jangan mau kau berdiri tertatih
merenungi nasibmu kini tak pasi


Sekarang,,
Hujan tak lagi biru
Malam tak lagi dingin
Siang tak lagi cerah
Dan pagi pun menupi sang fajar

 Sadarlah kalian semua akibat
kitalah yang menjerat
dan semua jarum
kan menusuk kita

  sadarkan semua ini,, sadarlah

Jumat, 14 Januari 2011

Melanggar nasehat , datanglah malapetaka



Ada sebuah rumah di pinggir jalan raya,disana tinggal anak yang berwatak membangkang  yaitu Syifa, Syifa mempunyai ayah dan ibu yang sangat sayang dengannya, dan pembantunya mbo Narmi.
Seperti aktivitas biasannya ayah berangkat kerja dan begitu pun dengan si ibu , di rumah hanya ada Syifa dan mbo Narmi karna sifat Syifa yang susah di nasihati dia selalu membentak mbo Narmi dan dia pun suka membentak kedua orang tuanya , Syifa suka akan kekacauan dan seisi rumah yang tertata rapih slalu saja di rusak ole Syifa dan mbo Narmi pun selalu merapikan kembali barang-barang yang tidak di tempatnya, akan tetapi Syifa slalu merusak kembali barang yang telah di rapihkan oleh mbo Narmi , hingga mbo Narmi pun memarahi Syifa , tetapi karna sifat Syifa yang membangkang ia melempar mbo Narmi dengan vas bunga hingga mbo Narmi pun terluka di bagian kheningnnya, walaupun mbo Narmi terluka Syifa tak menghiraukan hal tersebut malah ia pergi bermain.
Mbo Narmi pun kuatir karena mentari sudah menjadi rembulan , Syifa belum pulang ,setelah orang tua Syifa pulang mereka menannyakan “ dimana Syifa? ” mbo Narmi pun mejawab “  ia masih bermain tuan ” dengan tergesa-gesa mereka mencari Syifa . setelah mereka menemukan Syifa tanpa di duga di depan rumah mereka terdapat anak perempuan yang memakai baju kemeja lengan panjang dan ia pun terserempet oleh kendaraan bus yang          lalu-lalang di depan rumah Syifa dan anak kecil itu pun tergeletak begitu saja. secara spontan mereka membantu dan mengobati anak perempuan itu kemudian ayah Syifa berpesan kepada anak itu bahwa baju kemeja yang di kenakannya jangan pernah di pakai kembali karna baju itu adalah baju sial , barang siapa yang memakainnya dia akan sial , akan tetapi Syifa megambil baju kemeja tersebut dan memakainya dan ia pun berkata “ baju kusam dan dekil ini tidak punya kekuatan apa-apa ayah ku bohong jangan di percaya “ kemudian baju itu pun di ambil kembali oleh anak itu dan ia pun pulang
Satu minggu setelah terjadinya anak perempuan yang terserempet di depan rumah Syifa,  pada waktu itu Syifa sedang bermain dan salah sau ranting kayu pun tersangkut di roknya hingga sobek , kejadian ini terjadi pada hari rabu. Seminggu kemudian sepatu Syifa tercebur ke sungai dan hilang entah kemana? Dan ini pun terjadi pada hari rabu , seminggu kemudian semua tabungan Syifa hilang begitu saja , ini pula terjadi pada hari rabu dan sebulan setelah terjadi peristiwa anak perempuan yang terserempet, di depan rumahnnya Syifa di sosor oleh burung-burung hingga pakaiannya pun kotor kejadian ini juga terjadi pada hari rabu, seperti biasa di hari rabu Syifa pasti mendapatkan kesialan  , hingga Syifa menyadari bahwa ucapan atau nasehat orang tua itu adalah amanah yang di sampaikan oleh sang kholik untuk kita melewati perantara agar kita terhinda dari kesialan , jadi setelah ia menyadari hal tersebut ia minta maaf kepada ke dua orangtuanya dan ia pun meminta maaf ke pad ambo Narmi akhirnya Syifa menjadi anak yang rajin dan suka menolong.

Kamis, 06 Januari 2011

Dongeng Seekor Nyamuk





Di suatu negeri antah-berantah bertahtalah seorang raja yang arif bijaksana. Raja itu hidup bersama permaisuri dan putra-putrinya. Rakyat sangat mencintainya. Istananya terbuka setiap waktu untuk dikunjungi siapa saja. Ua mau mendengar pendapat dan pengaduan rakyatnya. Anak-anak pun boleh bermain-main di halaman sekitar istana.

Di negeri itu hidup juga seorang janda dengan seorang anaknya yang senang bermain di sekitar istana. Setiap pergi ke istana, ia selalu membawa binatang kesayangannya, seekor nyamuk. Leher nyamuk itu diikat dengan tali dan ujung tali dipegangnya. Nyamuk akan berjalan mengikuti ke mana pun anak itu pergi.

Pada suatu sore, anak itu sedang bermain di sekitar halaman istana. Karena asyik bermain, ia lupa hari sudah mulai gelap. Raja yang baik itu mengingatkannya dan menyuruhnya pulang.

“Orang tuamu pasti gelisah menantimu,” kata raja.
“Baik, Tuanku,” sahutnya, “karena hamba harus cepat-cepat pulang, nyamuk ini hamba titipkan di istana.”
“Ikatkan saja di tiang dekat tangga,” sahut raja.

Keesokan harinya, anak itu datang ke istana. Ia amat terkejut melihat nyamuknya sedang dipatuk dan ditelan seekor ayam jantan. Sedih hatinya karena nyamuk yang amat disayanginya hilang. Ia mengadukan peristiwa itu kepada raja karena ayam jantan itu milik raja.

“Ambillah ayam jantan itu sebagai ganti,” kata raja.

Anak itu mengucapkan terima kasih kepada raja. Kaki ayam jantan itu pun diikat dengan tali dan dibawa ke mana saja. Sore itu ia kembali bermain-main di sekitar istana. Ayam jantannya dilepas begitu saja sehingga bebas berkeliaran ke sana kemari. Ayam jantan itu melihat perempuan-perempuan pembantu raja sedang menumbuk padi di belakang istana, berlarilah dia ke sana. Dia mematuk padi yang berhamburan di atas tikar di samping lesung, bahkan berkali-kali dia berusaha menyerobot padi yang ada di lubang lesung.

Para pembantu raja mengusir ayam jantan itu agar tidak mengganggu pekerjaan mereka. Akan tetapi, tak lama kemudian ayam itu datang lagi dan dengan rakusnya berusaha mematuk padi dalam lesung.

Mereka menghalau ayam itu dengan alu yang mereka pegang. Seorang di antara mereka bukan hanya menghalau, tetapi memukulkan alu dan mengenai kepala ayam itu. Ayam itu menggelepargelepar kesakitan. Darah segar mengalir dari kepala. Tidak lama kemudian, matilah ayam itu.

Alangkah sedih hati anak itu melihat ayam kesayangannya mati. Ia datang menghadap raja memohon keadilan. “Ambillah alu itu sebagai ganti ayam jantanmu yang mati!” kata raja kepadanya.

Anak itu bersimpuh di hadapan raja dan menyampaikan rasa terima kasih atas kemurahan hati raja.

“Hamba titipkan alu itu di sini karena di rumah ibu hamba tidak ada tempat untuk menyimpannya,” pintanya.
“Sandarkanlah alu itu di pohon nangka,” kata raja. Pohon nangka itu rimbun daunnya dan lebat buahnya.

Keesokan harinya, ketika hari sudah senja, ia bermaksud mengambil alu itu untuk dibawa pulang. Akan tetapi, alu itu ternyata patah dan tergeletak di tanah. Di sampingnya terguling sebuah nangka amat besar dan semerbak baunya.

“Nangka ini rupanya penyebab patahnya aluku,” katanya, “aku akan meminta nangka ini sebagai ganti aluku kepada raja!”
Raja tersenyum mendengar permintaan itu. “Ambillah nangka itu kalau engkau suka,” kata raja.
“Tetapi, hari sudah mulai gelap!” kata anak itu. “Hamba harus cepat tiba di rumah. Kalau terlambat, ibu akan marah kepada hamba. Hamba titipkan nangka ini di istana.”
“Boleh saja,” ujar raja, “letakkan nangka itu di samping pintu dapur!”

Bau nangka yang sedap itu tercium ke seluruh istana. Salah seorang putri raja juga mencium bau nangka itu. Seleranya pun timbul.

“Aku mau memakan nangka itu!” kata putri berusaha mencari dimana nangka itu berada. “Kaiau nangka itu masih tergantung di dahan, aku akan memanjat untuk mengambilnya!”

Tentu saja putri raja tidak perlu bersusah payah memanjat pohon nangka karena nangka itu ada di samping pintu dapur. Ia segera mengambil pisau dan nangka itu pun dibelah serta dimakan sepuas-puasnya.

Kita tentu dapat menerka kejadian selanjutnya. Anak itu menuntut ganti rugi kepada raja. Pada mulanya raja bingung, tetapi dengan lapang dada beliau bertitah, “Ketika nyamukmu dipatuk ayam jantan, ayam jantan itu menjadi gantinya. Ketika ayam jantan mati karena alu, kuserahkan alu itu kepadamu. Demikian pula ketika alumu patah tertimpa nangka, nangka itu menjadi milikmu. Sekarang, karena putriku menghabiskan nangkamu, tidak ada jalan lain selain menyerahkan putriku kepadamu.”

Putri raja sebaya dengan anak itu. Akan tetapi, mereka belum dewasa sehingga tidak mungkin segera dinikahkan. Ketika dewasa, keduanya dinikahkan. Raja merayakan pesta secara meriah. Setelah raja meninggal, anak itu menggantikan mertuanya naik takhta. Ibunya juga diajak untuk tinggal di istana.